Hidup
dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas untuk setiap orang.
Anehnya kita ini menciptakan rintangan kita sendiri untuk menggapai tujuan yang
wajar ini, dengan menarik batas antara kemungkinan dan ketidak-mungkinan begitu
dekat dengan diri kita, sehingga ruang gerak kita menjadi begitu sempit. Hidup
menjadi pengap karena kita kekurangan alternatif.
Banyak
orang mengira bahwa rintangan terbesar untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu
berada di luar diri mereka. Karena itu, kita sering mendengar, "Tak
mungkin aku bisa jadi ahli, lha wong tak mungkin mendapat pendidikan tinggi,
karena keluargaku tak cukup dana untuk membiayainya!" Atau, "Jangan
harap kita bisa menaikkan omzet penjualan, karena situasi sosial politik kita
cuma menyebabkan krisis ekonomi ini lebih akut lagi!"
Tetapi,
benarkah bahwa "rintangan yang sesungguhnya" itu ada di luar diri
kita? Setiap kali melihat asap putih, jejak penerbangan pesawat supersonik di
langit, saya harap kita akan selalu ingat bahwa jawabannya adalah TIDAK!
Kenapa? Karena ada kisah spektakuler di balik penerbangan pesawat supersonik
itu, dan setiap anak manusia bisa menarik pelajaran darinya, untuk lebih
mengenal dirinya. Kisah itu menyingkapkan betapa relatifnya batas antara
kemungkinan dan ketidak-mungkinan yang biasa kita tarik sendiri, dan akhirnya
menentukan sepak terjang kita.
Sebelum
dan sampai dengan Perang Dunia II, orang-orang di dunia penerbangan berkutat
dalam batas-batas "Sound Barrier". Mereka berkutat dengan kecepatan
yang tidak lebih dari kecepatan suara, kira-kira 300 meter per detik, atau
sekitar 1080 km per jam. Semua ilmuwan dan praktisi penerbangan yakin sekali
bahwa ruang gerak kebebasan mereka untuk menerbangkan pesawat berada dalam
batas-batas kecepatan suara itu. Di luar batas itu terbentang luas ruang gelap
ketidak-mungkinan.
Tetapi,
ada satu orang yang secara terang-terangan menentang arus umum itu. Di tengah
keyakinan para ilmuwan dan praktisi penerbangan yang menentukan garis batas
bagi ruang gerak pesawat, ia meneliti dan meneliti, serta melakukan
inovasi-inovasi untuk memperluas ruang kebebasan tersebut. Ia ingin meretas
batas-batas yang bahkan digariskan begitu tegas oleh para ilmuwan aerodinamika.
Sasarannya adalah merintis penerbangan supersonik. Nama orang itu adalah
Charles Yeager, yang lebih populer dengan Chuck Yeager.
Seperti
biasa, terhadap setiap ide pembaruan ada yang antusias, ada yang apatis, ada
yang skeptik, dan ada pula yang sinis. Walaupun mencium untung, para praktisi
dan pebisnis bersikap skeptik, sedangkan para ilmuwan bersikap sinis terhadap
proyeknya. Mereka yakin, proyek itu sudah ditakdirkan untuk gagal.
Dalam
anggapan mereka, pesawat yang bergerak di bawah kecepatan suara bisa terbang
mulus, karena sebenarnya pesawat itu didahului oleh sesuatu yang berperan
sebagai perintis atau peretas jalan, yaitu suara raungannya sendiri. Karena
pesawat tidak lebih cepat daripada rambatan suara raungannya, suara itu - kata
mereka - membelah udara di depan pesawat, dan dengan demikian menciptakan ruang
kosong yang akan segera dimasuki oleh pesawat, dan udara di belakang pesawat
bisa balik lagi tanpa menimbulkan ledakan. Kalau pesawat bergerak melebihi
kecepatan suara, pesawat itu sendirilah yang membelah udara di depannya, dan
meninggalkan ruang kosong di belakangnya, yang segera diisi oleh udara yang
bergerak begitu cepat, sehingga menimbulkan efek ledakan, sebagaimana ketika
kita melecutkan cemeti. Karena pesawat itu begitu besar, ledakannya diyakini
juga akan begitu besar, sehingga efek letupannya itu dibayangkan akan sedahsyat
ledakan petir. Itu berarti bahwa selama penerbangannya, pesawat supersonik akan
terus-menerus dihajar oleh efek ledakan maut yang ditimbulkannya sendiri.
Karena itu, para praktisi dan ilmuwan bahkan percaya bahwa begitu melewati
ambang batas kecepatan suara, pesawat supersonik akan hancur dihajar oleh
ledakan pertamanya. Tak heranlah bila berbekal pemahaman seperti ini mereka
menyebut proyek Yaeger itu sebagai "Misi Bunuh Diri"!
Tetapi
sejarah mencatat lain. Si pelawan arus itu menang. Dengan pesawat Bell X-1,
pada tanggal 14 Oktober 1947, ia berhasil mewujudkan mimpinya dan sekaligus
menghancurkan skeptisisme para praktisi maupun sinisme para ilmuwan, dan dengan
demikian merintis penerbangan modern yang dinikmati oleh orang-orang jaman
kita. Inggris dan Prancis mengambil manfaat dan keuntungannya dengan
bekerjasama dalam proyek Concorde. Orang-orang kaya yang berprinsip "waktu
adalah uang" dapat menikmati kenyamanan terbang dengan memangkas ongkos mereka,
karena waktu terbang mereka dapat amat dipersingkat. Sedangkan orang-orang
sederhana di kampung saya - sekalipun tak berani mimpi bisa melayang terbang ke
berbagai negri - bisa terkagum-kagum setiap kali melihat jejak asap di langit
biru mereka, yang ditinggalkan oleh burung besi yang melesat dari Sidney ke
bandara Heathrow di London, pulang pergi.
Hikmah
apa yang bisa ditarik dari kisah ini? Penerbangan supersonik adalah kemenangan
sebuah mimpi untuk menggeser batas ketidak-mungkinan sedikit lebih jauh lagi.
Dengan begitu ruang kebebasan kita dibuatnya lebih luas. Asap panjang yang
ditinggalkannya di langit biru yang tenang mengingatkan kita bahwa batas-batas
itu amat relatif. Untuk orang-orang yang berani bermimpi dan mencurahkan
pikiran maupun tenaga untuk mimpinya, batas-batas itu tak lebih dari asap. Ia
bisa dilenyapkan.
Kisah
itu mengingatkan kita bahwa betapa mustahilnya pun di benak orang banyak,
setiap mimpi memiliki kesempatan untuk menang dan sungguh terjadi, karena
rintangannya dapat diretas dan diatasi. Dan dalam kata-kata Yaeger, "the
real greatest barrier is not out there!" Dengan itu dia mengatakan bahwa
rintangan di luaran memang ada, tetapi rintangan yang terbesar berada di benak
kita. Rintangan terbesar, dan yang sungguh-sungguh real, bukan segala hal di
luaran - apa pun itu, entah rintangan fisik, politik, sosial,
finansial/ekonomi, atau kultural - melainkan sesuatu yang berada di dalam diri
kita sendiri. Rintangan itu bersifat mental. Ia dibentuk oleh opini kita,
pemahaman kita, cara pandang kita, dan lagi-lagi kita kembali pada tema sentral
tulisan pertama dalam seri ini: persepsi.
Rintangan
di luar memang ada, tetapi kalaupun kita mengikuti pola pikir yang memandang
rintangan terhadap berbagai tujuan kita ada di luar diri, sebenarnya kita masih
memiliki kemungkinan untuk memperluas ruang gerak kita, dengan memandang secara
kritis pengandaian-pengandaian yang melandasi suatu pernyataan yang menegaskan
rintangan itu, untuk menemukan alternatifnya.
Ambillah
contoh ungkapan "Tak mungkin aku bisa jadi ahli, lha wong tak mungkin
mendapat pendidikan tinggi, karena keluargaku tak cukup dana untuk
membiayainya!" Andaikan benar bahwa keahlian memang tergantung pada
pendidikan tinggi dan dana, bukankah dana itu tidak harus dari keluarga? Ikatan
dinas adalah salah satu alternatif solusinya. Tetapi, ternyata keahlian juga
tidak tergantung pada pendidikan tinggi. Bill Gates adalah buktinya. Dalam hal
ini, si ahli komputer yang menjadi orang superkaya pada umur tigapuluhan itu
tak lebih dari orang yang drop-out; dan kini lulusan terbaik dari berbagai
universitas ternama berlomba untuk bekerja baginya.
Karena
itulah, Yaeger memandang rintangan luaran tidak real dan bukan yang terbesar.
Yang sungguh real dan terbesar adalah mindset kita sendiri. Mindset para praktisi
dan ilmuwan yang sinis terhadap proyeknya menciptakan ilusi-ilusi: "sound
barrier", "ledakan maut", "peretas jalan". Ilusi itu
menyebabkan mereka tidak berani bermimpi untuk beranjak dari kubangan dunia
penerbangan mereka.
Kita
memiliki mindset kita sendiri, dan olehnya ruang kebebasan dan
kemungkinan-kemungkinan kita ditentukan. Begitu kita mengubahnya, ruang
keleluasaan gerak kita juga berubah.
Hidup
dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Dan
itu dimulai dari dalam diri, dengan membentuk mindset seorang pemenang.
wandi s brata: Mindset Pemenang