Home » Oktober 2014
Mindset Pemenang

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Anehnya kita ini menciptakan rintangan kita sendiri untuk menggapai tujuan yang wajar ini, dengan menarik batas antara kemungkinan dan ketidak-mungkinan begitu dekat dengan diri kita, sehingga ruang gerak kita menjadi begitu sempit. Hidup menjadi pengap karena kita kekurangan alternatif.

Banyak orang mengira bahwa rintangan terbesar untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu berada di luar diri mereka. Karena itu, kita sering mendengar, "Tak mungkin aku bisa jadi ahli, lha wong tak mungkin mendapat pendidikan tinggi, karena keluargaku tak cukup dana untuk membiayainya!" Atau, "Jangan harap kita bisa menaikkan omzet penjualan, karena situasi sosial politik kita cuma menyebabkan krisis ekonomi ini lebih akut lagi!"

Tetapi, benarkah bahwa "rintangan yang sesungguhnya" itu ada di luar diri kita? Setiap kali melihat asap putih, jejak penerbangan pesawat supersonik di langit, saya harap kita akan selalu ingat bahwa jawabannya adalah TIDAK! Kenapa? Karena ada kisah spektakuler di balik penerbangan pesawat supersonik itu, dan setiap anak manusia bisa menarik pelajaran darinya, untuk lebih mengenal dirinya. Kisah itu menyingkapkan betapa relatifnya batas antara kemungkinan dan ketidak-mungkinan yang biasa kita tarik sendiri, dan akhirnya menentukan sepak terjang kita.

Sebelum dan sampai dengan Perang Dunia II, orang-orang di dunia penerbangan berkutat dalam batas-batas "Sound Barrier". Mereka berkutat dengan kecepatan yang tidak lebih dari kecepatan suara, kira-kira 300 meter per detik, atau sekitar 1080 km per jam. Semua ilmuwan dan praktisi penerbangan yakin sekali bahwa ruang gerak kebebasan mereka untuk menerbangkan pesawat berada dalam batas-batas kecepatan suara itu. Di luar batas itu terbentang luas ruang gelap ketidak-mungkinan.

Tetapi, ada satu orang yang secara terang-terangan menentang arus umum itu. Di tengah keyakinan para ilmuwan dan praktisi penerbangan yang menentukan garis batas bagi ruang gerak pesawat, ia meneliti dan meneliti, serta melakukan inovasi-inovasi untuk memperluas ruang kebebasan tersebut. Ia ingin meretas batas-batas yang bahkan digariskan begitu tegas oleh para ilmuwan aerodinamika. Sasarannya adalah merintis penerbangan supersonik. Nama orang itu adalah Charles Yeager, yang lebih populer dengan Chuck Yeager.

Seperti biasa, terhadap setiap ide pembaruan ada yang antusias, ada yang apatis, ada yang skeptik, dan ada pula yang sinis. Walaupun mencium untung, para praktisi dan pebisnis bersikap skeptik, sedangkan para ilmuwan bersikap sinis terhadap proyeknya. Mereka yakin, proyek itu sudah ditakdirkan untuk gagal.

Dalam anggapan mereka, pesawat yang bergerak di bawah kecepatan suara bisa terbang mulus, karena sebenarnya pesawat itu didahului oleh sesuatu yang berperan sebagai perintis atau peretas jalan, yaitu suara raungannya sendiri. Karena pesawat tidak lebih cepat daripada rambatan suara raungannya, suara itu - kata mereka - membelah udara di depan pesawat, dan dengan demikian menciptakan ruang kosong yang akan segera dimasuki oleh pesawat, dan udara di belakang pesawat bisa balik lagi tanpa menimbulkan ledakan. Kalau pesawat bergerak melebihi kecepatan suara, pesawat itu sendirilah yang membelah udara di depannya, dan meninggalkan ruang kosong di belakangnya, yang segera diisi oleh udara yang bergerak begitu cepat, sehingga menimbulkan efek ledakan, sebagaimana ketika kita melecutkan cemeti. Karena pesawat itu begitu besar, ledakannya diyakini juga akan begitu besar, sehingga efek letupannya itu dibayangkan akan sedahsyat ledakan petir. Itu berarti bahwa selama penerbangannya, pesawat supersonik akan terus-menerus dihajar oleh efek ledakan maut yang ditimbulkannya sendiri. Karena itu, para praktisi dan ilmuwan bahkan percaya bahwa begitu melewati ambang batas kecepatan suara, pesawat supersonik akan hancur dihajar oleh ledakan pertamanya. Tak heranlah bila berbekal pemahaman seperti ini mereka menyebut proyek Yaeger itu sebagai "Misi Bunuh Diri"!

Tetapi sejarah mencatat lain. Si pelawan arus itu menang. Dengan pesawat Bell X-1, pada tanggal 14 Oktober 1947, ia berhasil mewujudkan mimpinya dan sekaligus menghancurkan skeptisisme para praktisi maupun sinisme para ilmuwan, dan dengan demikian merintis penerbangan modern yang dinikmati oleh orang-orang jaman kita. Inggris dan Prancis mengambil manfaat dan keuntungannya dengan bekerjasama dalam proyek Concorde. Orang-orang kaya yang berprinsip "waktu adalah uang" dapat menikmati kenyamanan terbang dengan memangkas ongkos mereka, karena waktu terbang mereka dapat amat dipersingkat. Sedangkan orang-orang sederhana di kampung saya - sekalipun tak berani mimpi bisa melayang terbang ke berbagai negri - bisa terkagum-kagum setiap kali melihat jejak asap di langit biru mereka, yang ditinggalkan oleh burung besi yang melesat dari Sidney ke bandara Heathrow di London, pulang pergi.

Hikmah apa yang bisa ditarik dari kisah ini? Penerbangan supersonik adalah kemenangan sebuah mimpi untuk menggeser batas ketidak-mungkinan sedikit lebih jauh lagi. Dengan begitu ruang kebebasan kita dibuatnya lebih luas. Asap panjang yang ditinggalkannya di langit biru yang tenang mengingatkan kita bahwa batas-batas itu amat relatif. Untuk orang-orang yang berani bermimpi dan mencurahkan pikiran maupun tenaga untuk mimpinya, batas-batas itu tak lebih dari asap. Ia bisa dilenyapkan.

Kisah itu mengingatkan kita bahwa betapa mustahilnya pun di benak orang banyak, setiap mimpi memiliki kesempatan untuk menang dan sungguh terjadi, karena rintangannya dapat diretas dan diatasi. Dan dalam kata-kata Yaeger, "the real greatest barrier is not out there!" Dengan itu dia mengatakan bahwa rintangan di luaran memang ada, tetapi rintangan yang terbesar berada di benak kita. Rintangan terbesar, dan yang sungguh-sungguh real, bukan segala hal di luaran - apa pun itu, entah rintangan fisik, politik, sosial, finansial/ekonomi, atau kultural - melainkan sesuatu yang berada di dalam diri kita sendiri. Rintangan itu bersifat mental. Ia dibentuk oleh opini kita, pemahaman kita, cara pandang kita, dan lagi-lagi kita kembali pada tema sentral tulisan pertama dalam seri ini: persepsi.

Rintangan di luar memang ada, tetapi kalaupun kita mengikuti pola pikir yang memandang rintangan terhadap berbagai tujuan kita ada di luar diri, sebenarnya kita masih memiliki kemungkinan untuk memperluas ruang gerak kita, dengan memandang secara kritis pengandaian-pengandaian yang melandasi suatu pernyataan yang menegaskan rintangan itu, untuk menemukan alternatifnya.

Ambillah contoh ungkapan "Tak mungkin aku bisa jadi ahli, lha wong tak mungkin mendapat pendidikan tinggi, karena keluargaku tak cukup dana untuk membiayainya!" Andaikan benar bahwa keahlian memang tergantung pada pendidikan tinggi dan dana, bukankah dana itu tidak harus dari keluarga? Ikatan dinas adalah salah satu alternatif solusinya. Tetapi, ternyata keahlian juga tidak tergantung pada pendidikan tinggi. Bill Gates adalah buktinya. Dalam hal ini, si ahli komputer yang menjadi orang superkaya pada umur tigapuluhan itu tak lebih dari orang yang drop-out; dan kini lulusan terbaik dari berbagai universitas ternama berlomba untuk bekerja baginya.

Karena itulah, Yaeger memandang rintangan luaran tidak real dan bukan yang terbesar. Yang sungguh real dan terbesar adalah mindset kita sendiri. Mindset para praktisi dan ilmuwan yang sinis terhadap proyeknya menciptakan ilusi-ilusi: "sound barrier", "ledakan maut", "peretas jalan". Ilusi itu menyebabkan mereka tidak berani bermimpi untuk beranjak dari kubangan dunia penerbangan mereka.

Kita memiliki mindset kita sendiri, dan olehnya ruang kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan kita ditentukan. Begitu kita mengubahnya, ruang keleluasaan gerak kita juga berubah.


Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Dan itu dimulai dari dalam diri, dengan membentuk mindset seorang pemenang.

 wandi s brata: Mindset Pemenang

Mempersepsi Realita Secara Baru

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Anehnya, itu tidak berurusan dengan menang persaingan terhadap sesama kita. Menang dalam hidup terutama berurusan dengan menang terhadap kelemahan dan kepicikan diri sendiri. Dan itu akan mudah kita capai kalau antara lain kita tahu hukum persepsi.

Mungkin banyak yang mengira bahwa kita ini bereaksi terhadap fakta-fakta, terhadap realita apa adanya. Kita marah atau kalem, gembira atau jengkel, antusias atau pesimis, muak atau bergairah, bila kita - kata orang - menghadapi fakta atau realita tertentu. Marilah kita menarik diri dan mempertanyakan hal itu: benarkah demikian?

Suatu hari saya mengundang makan seorang teman. Hari itu menu keluarga kami agak beda: tidak hanya ada tahu, tempe, krupuk dan sayur sebagaimana kebiasaan, hari itu ada banyak daging yang memang "luar biasa". Saya senang bisa mengajak teman makan; dan rupanya dia pun gembira. Saya kira dia tulus ketika mengucapkan terimakasih dan senang kalau kapan-kapan diundang lagi makan siang. Saya bertanya, "Kamu senang, Ton., dengan daging itu?"

"Ya, ya! Enak sekali!"

"Kamu tahu, daging apa itu?"

Mungkin karena menangkap sesuatu yang agak aneh dengan pertanyaan itu, dia balik bertanya, "Emangnya daging apa?"

"Anjing!"

"Hah?!"

Jawaban itu seperti sambaran petir. Raut teman saya langung berubah. Hanya dalam hitungan detik mukanya jadi merah. Mungkin agak menahan diri untuk muntah di hadapan keluarga saya, tetapi dia jelas menahan sesuatu yang tidak mengenakkan. Saya tahu, dia tidak mau makan daging anjing kalau tahu sebelumnya. Bukan karena haram, tetapi karena jijik.

Jadi, apakah kita bereaksi terhadap fakta apa adanya? Tidak! Beberapa menit sebelumnya Anton, teman saya itu, lahap menikmati daging yang dia rasakan enak. Tubuhnya merespon dengan wajar, tetapi beberapa menit sesudahnya segalanya jadi lain. Tubuhnya bereaksi menolak, perutnya begolak, wajah memerah. Secara mental-emosional pun dia berubah. Suasana yang tadinya serba menyenangkan berubah menjadi agak janggal, serba kikuk. Undangan makan yang kiranya dia sambut sebagai kebaikan hati saya mungkin kini diartikan lain sebagai kesempatan untuk "ngerjain" dia -mungkin terimakasih pun berubah jadi umpatan dalam hati (karena tak enak untuk menyatakannya secara terang-terangan).

Apa yang menentukan perubahan dahsyat itu? Jawabannya: PERSEPSI.

Persepsi adalah pemaknaan kita terhadap fakta apa adanya. Persepsi adalah sapuan warna individual yang kita kenakan kepada fakta apa adanya. Persepsi adalah pemahaman kita terhadap fakta - tetapi, fakta itu sudah bukan lagi fakta apa adanya, melainkan fakta yang sudah kita warnai, kita pulas, kita beri nilai, kita beri cap, kita namai, kita beri perspektif, kita beri muatan nilai spiritual, sosial, emosional - apa pun! Pendek kata, persepsi adalah pemahaman kita terhadap fakta yang kita pandang dengan sebuah kacamata berwarna, dari sudut pandang tertentu. Dan terhadap persepsi itulah sebenarnya kita bereaksi - apa pun reaksi itu.

Secara psiko-motorik, mental-emosional, persepsi bahkan kadang-kadang begitu kuatnya menentukan reaksi-reaksi kita, padahal mungkin saja tidak ada fakta yang sebenarnya mendasari persepsi itu. Contohnya bisa anda alami ketika sedang berhenti di lampu merah. Di tengah berderet-deret mobil yang menunggu lampu hijau menyala, anda menghentikan mobil anda. Dengan santai anda menoleh ke kanan atau ke kiri, dan tiba-tiba anda jadi "gragapan" karena mengira mobil anda mundur dengan cepat. Jantung berdebar karena takut mobil anda peyok atau memeyokkan mobil di belakang anda. Kaki anda cepat bergerak untuk menginjak rem. Beberapa detik kemudian anda baru sadar bahwa bukan mobil anda yang mundur cepat, tetapi ada satu mobil di sebelah anda maju dengan cepat untuk segera merebut ruang kosong di depannya!

Itulah fenomena gerak semu, dan secara emosional maupun fisik kadang-kadang kita dipermainkankan oleh persepsi terhadap fenomena semacam gerak semu itu. Realita gerak anda semu, tetapi efek emosional dan psiko-motorisnya amat nyata.

Para ahli pemasaran amat menyadari kekuatan persepsi ini. Bagi mereka, persaingan di pasar adalah perang persepsi. Karena itu mereka menyarankan agar para produser mengaitkan produk mereka dengan persepsi yang khas: Volvo dengan "safety", sabun mandi dengan "bebas bakteri 24 jam" atau dengan "kecantikan", susu dengan "tulang kuat", atau susu beromega-3 dengan "kecerdasan".

Karena persepsi itu bisa dimunculkan tanpa fakta pendukungnya, saya punya catatan serius untuk para ahli pemasaran yang begitu mengandalkan hukum persepsi itu. Tetapi, lain kali kita bicara mengenai hal ini. Untuk saat ini, cukuplah kita menyadari betapa kuatnya persepsi itu menentukan hidup kita. Kita bisa "dikerjain" orang dengan itu, kita juga bisa "ngerjain" masyarakat dengan pemahaman yang baik mengenai hal itu, atau kita juga bisa menjadi bijaksana dan dapat menentukan kebahagiaan kita sendiri berbekal kesadaran akan hal itu.

Itu bisa kita lakukan di mana pun, dan di saat apa pun, karena kalau kita menyadari bahwa kita ini ditentukan oleh persepsi kita, kita juga bisa menarik diri untuk tidak serta merta mengambil tindakan hanya berdasar persepsi yang muncul secara spontan, sehingga tindakan kita tidak akan reaktif.

Anda sedang meluncur di jalanan yang padat lalu lintas. Anda waspada dan hati-hati agar tidak menimbulkan masalah bagi diri sendiri atau sesama seperjalanan anda. Tiba-tiba ada mobil lain yang secara sembrono menyerobot dan ngebut mendahului anda. Apa reaksi anda?

Saya tidak heran kalau anda jengkel. Mungkin malah marah dan ingin mengejar. Banyak di antara kita yang langsung kehilangan kontrol diri dan marah-marah terhadap orang yang ugal-ugalan tersebut. Tetapi, ada satu orang yang saya tahu tetap tenang menghadapi kejadian seperti itu, karena dia mempersepsi sopir yang ngebut tadi sebagai "orang yang kebelet ngising". Anda tahu yang dia maksudkan: kalau perut anda sudah mules, dubur anda siap menyemburkan ampas busuk, dan anda tak sabar untuk segera duduk di kloset - itulah "kebelet ngising". Dan memang, kalau jalan anda disrobot oleh orang yang sedang menghadapi "problem berat" seperti itu, anda akan maklum, tetap tenang, dan kalau tahu mungkin malah akan mempersilahkan dia mendahului anda.

Ada yang keberatan dengan mengatakan, "Tetapi, bukankah orang itu belum tentu kebelet ngising?" Memang! Mungkin saja dia adalah orang yang amat beradab tetapi sedang diburu oleh persoalan berat; atau sebaliknya orang biadab yang tak peduli terhadap keselamatan orang lain. Tetapi itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah menciptakan mekanisme internal dalam diri kita yang menyebabkan kita ini tetap tenang, tidak kehilangan kontrol diri, bahkan dapat menentukan kebahagiaan kita sendiri. Dan kini kita tahu salah satu caranya adalah: MEMPERSEPSI perkara-perkara yang biasanya menyebabkan kita kehilangan kontrol diri dan keseimbangan itu SECARA BARU.

Betapa luar biasanya cara itu. Dengan mekanisme sederhana itu dengan mudah kita bisa mengontrol emosi-emosi kita untuk tetap seimbang. Dampak lanjutannya ialah bahwa sistem hormonal dalam tubuh kita juga berjalan wajar, sehingga kita tidak hanya sehat secara mental-emosional, tetapi juga secara fisik.

Banyak orang hidup dipermainkan oleh persepsinya, tetapi dengan pengetahuan ini anda bisa mengambil jarak, bermain secara baru dengan persepsi anda, dan dapat mewarnai hidup anda sesuai dengan yang anda inginkan.


Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas untuk anda. Dan anda dapat mewujudkannya dengan cara mendekati berbagai perkara dengan persepsi baru. 

wandi s brata: Mempersepsi Realita Secara Baru

Freedom from the Known

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Anehnya, kita menutup jalur-jalur sukses kita sendiri, dengan biasa terburu-buru mengatakan "tidak" terhadap jalur-jalur alternatif yang belum pernah kita rambah. Anehnya, kita mudah takluk dan terjebak oleh kebiasaan kita, dan hanya sedikit di antara kita yang sungguh-sungguh bermental petualang dalam setiap situasi kehidupan yang terbentang.

Bayangkan orang yang sudah bekerja pada bidang apa pun selama lima, sepuluh, lima belas tahun, atau lebih lama lagi, dan tiba-tiba datang orang yang "masih hijau" di bidang itu yang mengajukan alternatif "cara bertindak" atau "cara menangani" masalah tertentu. Apa reaksi orang itu? Apa reaksi anda?

Anda adalah petualang bila menghadapi situasi seperti itu dan anda menjawab, "bagus, biar kucoba cara itu!" Tapi, tak jarang kita hanya mendengar jawaban basa-basi, mengiyakan cara itu, tetapi dalam hati mencibir si pengusul, karena si penerima altertif itu merasa sudah tahu segala hal dalam bidangnya dan menganggap alternatif itu nonsense. Ada yang bahkan dengan arogan menganggapnya sebagai sebuah kemustahilan, dan menyunggingkan senyum nyinyir karena dirinya yang "sudah banyak makan asam-garam di bidangnya" merasa direndahkan.

Atau, lihat kembali pengalaman pribadi ketika kita merambah "daerah" atau "bidang" baru serta menemukan jalur dan/atau cara yang kebetulan terasa efisien dan efektif untuk mencapai tujuan kita. Pertanyaannya, berapa lama kita terus mengikuti cara/jalur itu, dan enggan mencari cara/jalur lain karena merasa sudah nyaman dengan temuan pertama?

Tak banyak yang sungguh-sungguh berjiwa pencari. Karena itu, tak heran bila banyak di antara kita yang puas dengan apa yang selama ini dianggap sebagai jalur/cara yang baik - dan mungkin menganggapnya terbaik, hanya karena cara/jalur itu yang sudah dijalani dan memang memberi hasil juga.

Dan betapa luasnya "kebiasaan" itu. Dia tidak hanya berkenaan dengan cara kita mempolakan hidup kita dalam hitungan waktu -- jam segini melakukan ini, jam segitu berbuat itu -- tetapi juga pola reaksi, pola pikir dan pola pandang kita terhadap segala yang membentang dalam hidup kita. Dia menyetrukturir kehidupan fisik, mental, emosional, bahkan kehidupan spiritual kita, yang kadang-kadang terpecah dalam fragmen-fragmen yang sepertinya tidak saling berhubungan, sampai ada gejala aneh di mana kita begitu santun dan religius dalam suatu ruang peribadatan, tapi langsung jadi brutal begitu keluar darinya.

Dengan kebiasaan kita menciptakan pola berulang; dan itu mengenai seluruh aspek kehidupan kita. Oleh karena itu, kita sadar sekarang, bahwa ada tragika dalam rutinitas dan kebiasaan. Setiap kali mengikuti kebiasaan, kita sekaligus memperkuatnya. Dengan kebiasaan itu segala hal yang terkait dengannya menjadi lebih mulus, tidak begitu melelahkan, karena kita merasa tidak perlu lagi mempertanyakannya. Dengan kata lain, beban psikis, mental, dan mungkin juga beban fisik kita menjadi terasa lebih ringan, karena segala hal yang terkait dengannya sudah taken for granted. Setiap kali kita mengikuti kebiasaan, dan mendapat hasil yang baik darinya, kita semakin yakin bahwa itulah yang terbaik. Dan di situlah tragikanya: dia memudahkan dan memfasilitiasi, tetapi sekaligus menjebak kita dalam perangkapnya, sehingga kita serta merta mengganggap sesuatu yang di luar kebiasaan itu sebagai suatu kemustahilan. Kita sering gembar-gembor sebagai makhluk bebas, tetapi kita sendiri menciptakan perangkap-perangkap kebiasaan dan rutinitas sehingga dalam kungkungannya kita menjadi budak, dan hidup kita mudah diprediksikan.

Karena itu, bagi orang yang ingin memiliki kembali kebebasannya, sungguh melegakan membaca karya J. Krishnamurti. Salah satu bukunya yang spektakuler menangani masalah ini adalah Freedom from the Known, bebas dari segala sesuatu yang sudah kita ketahui, sehingga kita berani menggapai apa saja yang bahkan berdasarkan paradigma yang sudah kita ketahui itu kita anggap sebagai kemustahilan.

The known itu dalam diri kita menciptakan pola harapan tertentu, sekaligus memberi garis batas yang jelas terhadapnya, dan di luar garis batas itu membentang luas apa saja yang kita anggap mustahil. Karena itu, freedom from the known juga berarti kebebasan dari segala pola harapan yang selama ini mengungkung kita dalam kubangannya, dan yang menyebabkan kita memandang apa saja yang di luar kubangan kita itu sebagai kemustahilan. Pendek kata, freedom from the known berarti bebas dari belenggu harapan yang sempit yang selama ini memerangkap kita, sehingga tercipta pola harapan baru yang jauh lebih luas, di mana segala kemustahilan berubah menjadi kemungkinan.

Bagaimana caranya? Kata kunci Krishnamurti adalah "memperhatikan apa adanya". Sewaktu berhadapan dengan benda, orang, atau kejadian, perhatikan dia "apa danya". Lepaskan konsep-konsep, jangan berusaha menilai, jangan memberi cap, jangan memberi nama. Pendek kata, dari pihak kita cukup membuka diri untuk menerima penyingkapan (untuk tidak menyebut "pewahyuan") dari "apa adanya" itu. Tetapi, karena setiap kali mempersepsi sesuatu kita selalu menggunakan perspektif dan memberi cap, dalam prakteknya "memperhatikan apa adanya" itu berarti bahwa kita harus kritis terhadap perpektif dan cap-cap kita, dan bahkan mengambil jarak darinya, sampai kita sadar mengenai cara kerja pikiran kita, sehingga kita mampu mengatasi pikiran kita itu. Kalau anda mencapai kemampuan itu, anda jadi mistikus.

Pada kesempatan lain, Krishnamurti menyarankan kita agar berani mengajukan pertanyaan yang mustahil - impossible questions - karena apa-apa yang impossible itu sesungguhnya possible, tetapi karena kita terperangkap pada the known, yang possible itu menjadi impossible bagi kita. Lebih lanjut dia akan mengajak kita memusatkan perhatian pada The Impossible Question, tetapi tak perlu di sini kita bicarakan hal ini. Kalau tertarik, anda bisa membacanya sendiri, sebab tema itu menjadi salah satu judul bukunya yang sulit dibaca, tetapi akan untung besar anda kalau mau menginvestasikan waktu untuk itu.

Betapa dahsyatnya sikap mental yang akan berkembang bila anda mengikuti saran-sarannya. Kata "tidak bisa" mungkin akan terhapus dari kamus hidup anda, atau sekurang-kurangnya akan semakin jarang muncul. Robert T. Kiyosaki, penulis buku beseller Rich Dad Poor Dad, menyebut sikap yang melandasi kata "tidak bisa" itu sebagai "kemalasan mental". Orang yang menjawab pertanyaan, atau proposal, atau alternatif, dengan jawaban "tidak bisa" adalah orang yang malas berpikir. Orang semacam ini adalah orang yang menutup sendiri jalur-jalur suksesnya karena terperangkap oleh kebiasaan-kebiasaannya.

Sebagai alternatifnya, Kiyosaki menyarankan untuk mengganti sikap mental itu dengan membiasakan bertanya "bagaimana caranya agar saya bisa…" atau "apa yang harus kulakukan agar bisa…". Dengan cara itu, secara tak sadar kita seakan menyiapkan lahan subur untuk berkembangnya insight yang memberi anda terobosan untuk mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan.


Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Dan itu dimulai dari dalam diri, dengan membebaskan diri dari segala hal yang kita ketahui, untuk memungkinkan munculnya insight baru yang membuat segalanya menjadi mungkin.

wandi s brata: Freedom from the Known

fortiter in re, suaviter in modo

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas bagi setiap orang. Anehnya, kita menutup jalur-jalur sukses kita sendiri, karena terlalu cepat merasa puas dan mengira hebat ketika kita sudah memegang inti perkara, mengerti kebenaran, kemudian berupaya memperjuangkan dan menegakkannya, tanpa berpikir sungguh-sungguh mengenai caranya.

Banyak konflik terjadi, dan banyak maksud baik kandas, karena masing-masing yang terlibat terlalu kaku berpegang pada inti perkara dan cara yang sudah dikenal untuk memperjuangkannya, tanpa fleksibilitas dan tanpa upaya keras untuk mencari cara terbaik penyampaiannya, padahal untuk setiap satu inti perkara, ada seribu satu macam cara untuk mencapainya; padahal untuk setiap satu kebenaran, ada seribu satu cara untuk mengungkapkannya.

Konon, ada seorang raja yang buta mata kirinya, dan pincang kaki kirinya. Pada suatu hari, dipanggilnya seorang pelukis untuk melukis dirinya. Sadar bahwa nasibnya amat tergantung pada suka-tidaknya Sang Raja pada lukisannya, seniman itu berusaha menutupi cacat pada obyek lukisannya. Dilukiskannya penguasa itu dalam kebesarannya sebagai penakluk yang gagah perkasa. Matanya indah, menatap dengan tajam. Otot-ototnya kekar; kedua kaki kukuh menapak; semuanya mengesankan aura keperkasaan dan keagungan.

"Apaan ini?!" hardik Sang Raja. "Kamu tak lebih dari seniman carmuk (cari muka)! Emangnya aku seperti ini?!"

Gemetaran, pelukis itu digelandang dan dijebloskan ke dalam penjara.

Mendengar berita itu, pelukis kedua tahu bahwa Sang Raja ingin gambar senyatanya. Sambil memuji Sang Raja yang bersikap objektif dan cinta kebenaran, ia mengambil langkah lain: dilukisnya penguasa itu sebagai pribadi agung… dengan sebelah mata dan kaki cacat.

"Huhh! Seni apaan ini!!" kata Sang Raja. Atas perintah penguasa itu, pelukis kedua ini pun digelandang memasuki bui.

Pelukis ketiga menggambarkan Sang Raja sedang berburu. Kaki kiri ditekuk di depan sebagai penyeimbang; kaki kanan ditekuk sebagai tumpuan; berat badan diletakkan di lutut kaki kanan; tangan kiri memegang busur; tangan kanan menarik anak panah; mata kiri terpejam, mata kanan membidik rusa di kejauhan.

Sang Raja tersenyum puas sekali dengan lukisan tersebut; dan pelukisnya tidak hanya menerima banyak hadiah, tetapi juga dinobatkan sebagai pulukis terbaik di seluruh kerajaan.

Tidak cukuplah mengerti essensi. Untuk menang dalam hidup ini, kita butuh asesori, untuk mengemas essensi. Tidak perlu menjadi penjilat dan penipu, tetapi kebenaran yang kita miliki perlu disampaikan dengan cara yang cerdik agar kebenaran itu bisa sampai sesuai dengan maksud kita. Kecerdikan kita bukan hanya diukur dengan kemampuan kita untuk menemukan hakikat, tetapi juga pada kemampuan kita untuk mengemasnya.

Berpegang pada prinsip merupakan sesuatu yang penting untuk menegakkan integritas, tetapi prinsip tidak perlu menjadikan kita orang yang kaku, karena kekakuannya sering kali justru hanya menyangkut masalah cara pengungkapannya.

Seorang siswa baru saja dinyatakan lulus dalam ujian akhir di Beijing, dan dia akan segera menduduki jabatan penting di kota provinsi. Sebagai tanda terimakasih, dan layaknya sopan santun yang berlaku waktu itu, ia ingin pamitan kepada gurunya, pendidik tersohor di seluruh negeri, sekaligus seorang mentri yang amat diandalkan oleh Sang Raja.

Sebagaimana cerita di atas, yang ini pun saya ambil dari Michael C. Tang, Tales of China's Timeless Wisdom, dengan modifikasi seperlunya.

"Tidak akan mudah bekerja di kantor provinsi. Kamu harus rajin, teliti, rendah hati dan bijaksana." pesan Sang Guru.

"Benar, Guru. Terimakasih atas nasihat Guru. Juga atas bimbingan yang saya terima selama ini." kata sang siswa. "Untuk itu saya mohon restu, dan selebihnya Guru tidak usah khawatir, karena saya telah merancang seratus cara dan rumusan kata-kata indah di benak saya. Setiap kali menghadapi seorang petinggi, saya akan menggunakan satu di antaranya. Saya yakin, dia pasti berkenan."

"Apa katamu?" sergah Guru itu dengan perasaan kecewa. "Kita ini orang terhormat. Kita punya prinsip yang harus ditegakkan, dan bagi orang terhormat adalah pantangan menjadi penjilat. Katakan kebenaran sebagai kebenaran, juga kalau itu pahit. Jangan kekuatanmu kamu letakkan pada kemampuan omong manis yang sebenarnya menipu."

"Bukan menjilat dan menipu, Guru, tetapi rumusan kata-kata yang tepat." kata Sang Siswa. "Lagi pula, di dunia ini hanya ada beberapa gelintir orang yang seperti Guru, yang bisa menerima kebenaran pahit seperti apa pun dengan jiwa besar. Kebanyakan lebih suka mendengarkan eufemisme, kata-kata manis berbunga yang menyembunyikan pahit getirnya realita; kebanyakan lebih suka dipuji dan dirayu, walaupun akhirnya hanya menerima kebenaran yang sudah melenceng dan mungkin malah tak lebih dari kelicikan penuh tipu."

"Mmm, mungkin kamu benar." kata Sang Guru sambil senyum mengangguk-angguk.

Belakangan Sang Siwa bercerita kepada temannya mengenai seratus cara dan rumusan kata-kata indah itu, "Aku telah menggunakan satu untuk Guruku. Kini stokku tinggal sembilan puluh sembilan."

Apa yang lebih membuat bangga: memiliki kebenaran - atau memiliki kebenaran yang juga diterima, "dibeli", dipeluk semua orang, sehingga kebenaran itu menjadi pelita bagi kita semua?

Banyak orang yang sudah merasa puas dipersepsi sebagai orang cerdik karena telah menemukan kebenaran, tetapi bodoh dalam hal cara menjualnya sehingga kebenaran itu tidak menjadi dasar pembelajaran bersama.

Mana lebih penting: puas dan lega karena kritik telah kita sampaikan - atau puas dan lega karena perkara yang menjadi inti kritik itu benar-benar sampai dan kemudian terjadi perubahan?

Banyak orang telah merasa puas menemukan titik lemah yang harus dikoreksi, dan dengan mengungkapkannya secara tak langsung mendongkrak harga dirinya, tetapi bodoh dalam cara penyampaiannya. Akibatnya, kritik hanya merupakan sarana katarsis bagi dia sendiri, dan tak ada perubahan apa pun bagi kebersamaan. Lingkungan sekitarnyanya tak bisa menerimanya, hanya karena sang pengritik tidak memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan kritik yang mungkin sebenarnya tepat dan amat bermanfaat.

Mana lebih penting: puas dan lega karena dendam telah terbalaskan - atau biasa-biasa saja, tetapi dalam proses itu kita menjadi lebih memiliki kontrol diri dan mampu memutus proses pembiakan kedengkian, sehingga dunia ini lebih layak huni?

Banyak orang bila mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan bereaksi sedemikian rupa seperti sedang menumpuk emosi negatif, sampai ketegangannya memuncak. Bila secara spontan cepat membalasnya, rasanya seperti mendapat orgasme - suatu kelegaan luar biasa karena ketegangan yang memuncak itu dilepaskan secara tiba-tiba. Tetapi dengan itu, pembalasan dendam itu terus membiakkan spiral dendam yang semakin besar dan luas.

Mana lebih penting: puas dipersepsi sebagai orang yang berwibawa dengan menetapkan standar, peraturan, prinsip, tetapi sebenarnya hanya dihormati di muka dan dikencingi di punggung - atau standar, aturan dan prinsip itu tegak, dengan sebuah trade off bahwa barangkali kita dipersepsi sebagai orang yang biasa-biasa saja?

Sebenarnya tak terlalu dibutuhkan kecerdikan untuk mengambil sederet pilihan-pilihan pertama itu. Kecerdikan dan kebesaran orang terletak pada pilihan yang kedua. Pada pilihan kedua itulah para pemenang dalam hidup ini memfokuskan tatapan mereka. Karena itu, mereka akan menghidupi sebuah kebijaksanaan yang oleh orang-orang Romawi kuno dirumuskan dengan ringkas: fortiter in re, suaviter in modo, teguh kuat dalam kebenaran dan perkaranya, tetapi lembut-luwes-persuasif dalam caranya.

Tidak hanya itu, para pemenang tahu bahwa efektivitas mereka akan terdongkrak luar biasa, kalau dalam suaviter in modo itu mereka menambahkan unsur pengorbanan diri. Kuncinya sederhana: daya persuasi kita sungguh andal, kalau kita sendiri adalah orang yang memiliki integritas pribadi mengenai apa pun yang akan kita tawarkan, kita perjuangkan, dan itu lebih impresif lagi ketika kita memberi seporsi bukti pengorbanan diri.

Tidak usah kita mengambil cerita dari khasanah dongeng Cina, karena untuk ini ada peristiwa nyata yang saya dengar dari seorang kolega. Dalam perjalanan ke kantor, seorang Bapak mengajak anaknya semobil, dengan harapan anaknya akan membawa mobil itu ke bengkel untuk direparasi, sebelum si anak pergi kuliah.

"Sepulang kuliah, kamu ambil saja mobil itu, lalu kamu jemput aku sekitar jam empat tiga puluh" kata sang ayah.

Sepulang kuliah, anak itu mengambil mobil… dan memakainya untuk entah ke mana. Karena jam empat tiga puluh telah lewat, sang ayah nelpon bengkel, dan diberitahu bahwa mobilnya telah lama sekali diambil oleh anaknya.

"Kok telat?" tanya ayahnya, ketika anaknya datang menjemput.

"Habis gimana, saya harus menunggu di bengkel dan baru jadi tadi jam empat seprapat."

"Hmm… aku telah gagal mendidik anak sendiri. Mungkin karena kurang memberi contoh yang baik kepadamu, maka kamu tidak bisa belajar jujur dariku. Karena itu, aku tidak akan menghukummu. Akulah yang harus mendapat hukumannya."

Maka sang ayah menghukum diri sendiri. Lima kilometer jarak dari kantor ke rumahnya ia tempuh dengan jalan kaki. Anaknya dia minta menguntit di belakangnya dengan mobilnya.

Sepanjang jalan, berkali-kali anak itu mohon maaf dan minta ayahnya naik ke mobil, tetapi sang ayah mau mengambil risiko capek untuk menanamkan satu nilai kepada anaknya. Dan dijamin: anak itu tak akan pernah melupakan pembelajaran pada hari itu.

Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas bagi setiap dan semua orang. Dan itu amat dipermudah, kalau kita tidak hanya mau bersusah payah mengerti inti perkara, tetapi juga cara cerdik untuk mengedepankannya. Pada cara itulah tergantung efektivitas persuasi kita, dan para pemenang dalam hidup ini tahu bahwa mereka dapat mendongkrak efektivitas persuasi mereka bila menambahkan di dalamnya seporsi pengorbanan diri.

wandi s brata: fortiter in re, suaviter in modo

Datangnya Sekolah Model Barat

Oleh: YB Mangunwijaya

Selaku blessing in disguise, salah satu buah kolonialisme di negeri kita yang positif ialah rontoknya pendidikan cara feodal itu bagian per bagian oleh hegemoni sistem Barat yang datang di negeri-negeri jajahan.
Pendidikan Barat yang datang itu telah mengalami metamorfosis dari manusia kolektivitas feodal hierarkis ke manusia Renaissance (kelahiran kembali alam filsafati Yunani Antik yang sudah berhasil melepaskan diri dari budaya mitologi dewa-dewi) dan Fajarbudi (Aufklaerung dari yang disebut Kegelapan Abad-abad Pertengahan yang feodal) yang menempatkan manusia tidak lagi hanya sebagai objek kekuasaan para bangsawan.
Tujuan hidup fana tidak lagi hanya selaku persiapan melulu ke dunia akhirat, tetapi dihargai sebagai tujuan intrinsik dan sejati pada dirinya (in sich, in ipso), tanpa harus mengingkari nilai hidup akhirat.
Metamorfosis filsafat manusia dengan konsep dan citra manusia yang manusiawi serta diharapkan semakin manusiawi lagi (humanior) berasal dari pandangan manusia sebagai citra Tuhan (Jadi ko-kreator) dalam bangsa Hibrani, sementara benihnya telah ditanam di Indonesia oleh agama Islam yang berakar sama dengan kaum Nasrani pada iman Nabi Ibrahim, yang nantinya diekspresikan dalam Pancasila (khususnya sila ke-2) yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno, seorang pribadi tokoh yang dalam porsi amat besar adalah pendidikan Barat humanis juga.

* Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan, "meninggal dalam tugas" di seminar "Meningkat Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," 10 Februari 1999. Nukilan dari "Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat" hal. 98-99. Penerbit Kanisius 1999.

Source : [ kolom NUKILAN ] pembelajar.com

Sarjana Dan Cendekiawan

Oleh: YB Mangunwijaya

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, tertera bahwa kata "sarjana" berarti "orang pandai (ahli ilmu pengetahuan) atau tingkatan yang dicapai oleh seorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi."
Dan kata "cendekiawan" berarti "orang cerdik-pandai, intelek, yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu." Cendekia berarti "tajam pikirannya, lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu); cerdas, pandai, terpelajar, cepat mengerti situasi, dan pandai mencari jalan keluar, dan seterusnya."
Jadi, menurut Kamus Besar itu, istilah "sarjana" lebih menunjuk kepada orang yang punya kualifikasi resmi dan status formal berkat suatu ijazah perguruan tinggi yang diraihnya. Sedangkan sebutan "cendekiawan" lebih menunjuk kepada sikap dasarnya selaku seorang thalib (sang pencari), kaum intelektual yang peduli terhadap masalah-masalah manusiawi yang memerlukan jalan keluar, jadi selain pandai, bersikap sosial serta politis juga. Dalam hal ini politis dalam arti aslinya: demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat umum.
Namun tentu saja diharapkan bahwa seorang sarjana yang pandai berijazah formal, dan sebagainya itu sekaligus adalah seorang intelektual alias cendekia juga yang selalu mencari terus-menerus, eksploratif tanpa henti, meningkatkan kemampuan pikirnya tanpa jera; dengan sikap hidup yang kritis, tidak mudah percaya begitu saja pada data dan informasi serba gemerlapan dari para penguasa atau kaum yang cerdik mengiklankan "kecapnya"--jadi, orang yang tidak mudah ditipu apalagi "dibeli" dan oleh karena itu tekun teliti menggali dalam dan menyaring di bawah permukaan: apa dan mana yang mencari kebenaran. Tidak mencari yang enak yang menguntungkan yang memuji diri, tetapi yang baik, yang perlu demi kepentingan orang banyak, khususnya yang lemah miskin dina dan tersudut.
Demikian seorang cendekiawan tidak gentar terhadap segala bentuk ancaman kekuasaan, kendati iaaif berhati-hati dan waspada. Seorang cendekiawan memang sekaligus dari kodratnya seorang yang bermoral dan sempit tetapi multidimesional, tidak lekas puas gampang-gampangan dan karenanya bersikap serba eksploratif.
Sang thalib tadi pencari. Demi yang benar, yang baik, yang indah, satu-satunya dewa pujaannya. Tetapi ia tahu bahwa segala yang rasional mengandung kadar kebenaran yang tinggi, dan sekaligus baik dan indah. Seperti semesta ciptaan Tuhan yang Mahabesar yang berfungsi menurut hukum-hukum rasional yang sempurna dan benar, dan karena itu kita lihat sungguh baik dan indah.
* Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan, "meninggal dalam tugas" di seminar "Meningkat Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," 10 Februari 1999. Nukilan dari "Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan" hal. 133-135. Penerbit Kanisius 1999.

Source : [ kolom Nukilan ] pembelajar.com

Pendidikan Ditentukan Oleh Citra Manusia

Oleh: YB Mangunwijaya

Pendidikan humanis menghormati harkat martabat manusia, termasuk juga yang ada pada si anak. Meskipun masih dalam pertumbuhan (bahkan sebagai janin pun), ia tetap manusia utuh. Begitulah citra manusia Barat yang otonom itu masuk ke dalam konsep pendidikan generasi perintis kemerdekaan Indonesia yang tidak ingin kembali ke pola kerajaan feodal dan budaya komprador yang ikut aktif membelenggu rakyat Indonesia. Sejak 17 Agustus 1945 secara radikal disingkirkanlah model pendidikan yang hanya bersasaran sosialisasi belaka dan reproduksi keterpelajaran yang hanya mengacu kepada istana maupun status quo adat istiadat feodal sampai tahun 1965/1966.
Sejak itu kembalilah praksis pola-pola pendidikan yang secara prinsipiil merupakan sosialisasi dan mengacu kepada hegemoni para penguasa politik maupun ekonomi dari suatu sistem yang bersifat indoktriner, walaupun sekian GBHN beramanat, "Pendidikan nasional Indonesia berdasarkan Pancasila ... bertujuan untuk ... membentuk ... dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia (yang disebut seutuhnya), beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas ... memiliki pengetahuan ... dan terampil serta sehat jasmani dan rohani ... mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial ... (sehingga) ... sejalan dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif ... manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa ... dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa ... yang mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia dan seterusnya."
Pada zaman revolusi fisik dan Orde Lama segala apa yang dituntut dalam GBHN sudah dilaksanakan, tetapi sesudah tahun 1965 segala ideal itu tinggal mengawang, tinggal di atas kertas. Apalagi yang menyangkut "berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, memiliki pengetahuan dan terampil, bersemangat inovatif dan kreatif, serta demokratis, kesetiakawanan sosial" karena praksis pendidikan sudah melorot menjadi indoktrinasi dan sosialisasi kognitif afektif, suatu brainwashing dalam skala besar-besaran selama 30 tahun.
Jika toh masih ada anak muda yang berbudi pekerti luhur, bekerja keras, mandiri, cerdas, inovatif, kreatif, demokratis, dan sebagainya, itu bukan berkat sistem pendidikan yang ada, tetapi berkat pendidikan nonformal dan informal di luar sistem yang resmi. Atau karena tersudut terpaksa inovatif, kreatif, mandiri, dan sebagainya. Mungkin karena sistem pendidikan "cinta kepada Bangsa dan sesama manusia" dan sebagainya tadi diberi batas-batas politik yang amat sempit "sesuai dengan UUD 45".
Jadi, terkekang oleh pola tata negara dan tata masyarakat yang dibatasi oleh undang-undang dasar sementara yang memberi kekuasaan terlalu besar kepada pihak eksekutif, bergaya top-down dan elite militeristis serba komando dan hafalan mental pelaksanaannya dan sebagainya tanpa jaminan hak asasi manusia warga negara yang menjadi syarat mutlak kemungkinan semangat inovatif dan kreativitas, percaya pada diri sendiri, mandiri, setia kawan, berani bertanggung jawab, dan seterusnya.
Segala kualitas kemanusiaan yang disebut oleh GBHN tadi pada hakikatnya adalah kualitas manusia Renaisans dan Fajarbudi seumumnya dan Renaisans dan Fajarbudi Asia khususnya. Oleh karena itu, jika kita ingin memiliki visi pendidikan Pancasila, jelasnya yang memenuhi permintaan sekian GBHN, maka kita tidak dapat menghindar dari pengkajian mendalam tentang pendidikan yang historis sudah dan sedang menghembus di seluruh dunia beradab, khususnya yang formal dilaksanakan dalam dunia persekolahan Barat, karena historis pula pendidikan modern bangsa kita substansial adalah hasil cangkokan dari pokok yang (sampai sekarang) tumbuh dalam dunia pendidikan di Barat. Berikut ini adalah kristal-kristal pembaruan pendidikan yang sudah mengendap di sana dan di sini, sebagian sudah dan akan berkembang juga.
* Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan, "meninggal dalam tugas" di seminar "Meningkat Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," 10 Februari 1999. Nukilan dari "Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat" hal. 99-101. Penerbit Kanisius 1999.
Source : [kolom Nukilan] pembelajar.com

*******************************************************

Blog FIIPOO

Blog FIIPOO lihat disini