Oleh: YB Mangunwijaya
Pendidikan humanis menghormati harkat
martabat manusia, termasuk juga yang ada pada si anak. Meskipun masih dalam
pertumbuhan (bahkan sebagai janin pun), ia tetap manusia utuh. Begitulah citra
manusia Barat yang otonom itu masuk ke dalam konsep pendidikan generasi
perintis kemerdekaan Indonesia yang tidak ingin kembali ke pola kerajaan feodal
dan budaya komprador yang ikut aktif membelenggu rakyat Indonesia. Sejak 17
Agustus 1945 secara radikal disingkirkanlah model pendidikan yang hanya
bersasaran sosialisasi belaka dan reproduksi keterpelajaran yang hanya mengacu
kepada istana maupun status quo adat istiadat feodal sampai tahun 1965/1966.
Sejak itu kembalilah praksis pola-pola
pendidikan yang secara prinsipiil merupakan sosialisasi dan mengacu kepada
hegemoni para penguasa politik maupun ekonomi dari suatu sistem yang bersifat
indoktriner, walaupun sekian GBHN beramanat, "Pendidikan nasional
Indonesia berdasarkan Pancasila ... bertujuan untuk ... membentuk ... dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia (yang disebut seutuhnya), beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas ... memiliki
pengetahuan ... dan terampil serta sehat jasmani dan rohani ... mempertebal
semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial ... (sehingga) ... sejalan
dengan itu dikembangkan iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa
percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif
... manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa ... dapat menyuburkan
sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa ... yang mencintai bangsanya dan
mencintai sesama manusia dan seterusnya."
Pada zaman revolusi fisik dan Orde Lama
segala apa yang dituntut dalam GBHN sudah dilaksanakan, tetapi sesudah tahun
1965 segala ideal itu tinggal mengawang, tinggal di atas kertas. Apalagi yang
menyangkut "berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja
keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, memiliki pengetahuan dan
terampil, bersemangat inovatif dan kreatif, serta demokratis, kesetiakawanan
sosial" karena praksis pendidikan sudah melorot menjadi indoktrinasi dan
sosialisasi kognitif afektif, suatu brainwashing dalam skala besar-besaran
selama 30 tahun.
Jika toh masih ada anak muda yang berbudi
pekerti luhur, bekerja keras, mandiri, cerdas, inovatif, kreatif, demokratis,
dan sebagainya, itu bukan berkat sistem pendidikan yang ada, tetapi berkat
pendidikan nonformal dan informal di luar sistem yang resmi. Atau karena
tersudut terpaksa inovatif, kreatif, mandiri, dan sebagainya. Mungkin karena
sistem pendidikan "cinta kepada Bangsa dan sesama manusia" dan
sebagainya tadi diberi batas-batas politik yang amat sempit "sesuai dengan
UUD 45".
Jadi, terkekang oleh pola tata negara dan
tata masyarakat yang dibatasi oleh undang-undang dasar sementara yang memberi
kekuasaan terlalu besar kepada pihak eksekutif, bergaya top-down dan elite
militeristis serba komando dan hafalan mental pelaksanaannya dan sebagainya
tanpa jaminan hak asasi manusia warga negara yang menjadi syarat mutlak
kemungkinan semangat inovatif dan kreativitas, percaya pada diri sendiri,
mandiri, setia kawan, berani bertanggung jawab, dan seterusnya.
Segala kualitas kemanusiaan yang disebut
oleh GBHN tadi pada hakikatnya adalah kualitas manusia Renaisans dan Fajarbudi
seumumnya dan Renaisans dan Fajarbudi Asia khususnya. Oleh karena itu, jika
kita ingin memiliki visi pendidikan Pancasila, jelasnya yang memenuhi
permintaan sekian GBHN, maka kita tidak dapat menghindar dari pengkajian
mendalam tentang pendidikan yang historis sudah dan sedang menghembus di seluruh
dunia beradab, khususnya yang formal dilaksanakan dalam dunia persekolahan
Barat, karena historis pula pendidikan modern bangsa kita substansial adalah
hasil cangkokan dari pokok yang (sampai sekarang) tumbuh dalam dunia pendidikan
di Barat. Berikut ini adalah kristal-kristal pembaruan pendidikan yang sudah
mengendap di sana dan di sini, sebagian sudah dan akan berkembang juga.
* Penulis adalah pemerhati masalah
pendidikan, "meninggal dalam tugas" di seminar "Meningkat Peran
Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," 10 Februari 1999.
Nukilan dari "Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat" hal. 99-101.
Penerbit Kanisius 1999.
*******************************************************