Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Anehnya, kita menutup jalur-jalur sukses kita sendiri, dengan biasa terburu-buru mengatakan "tidak" terhadap jalur-jalur alternatif yang belum pernah kita rambah. Anehnya, kita mudah takluk dan terjebak oleh kebiasaan kita, dan hanya sedikit di antara kita yang sungguh-sungguh bermental petualang dalam setiap situasi kehidupan yang terbentang.

Bayangkan orang yang sudah bekerja pada bidang apa pun selama lima, sepuluh, lima belas tahun, atau lebih lama lagi, dan tiba-tiba datang orang yang "masih hijau" di bidang itu yang mengajukan alternatif "cara bertindak" atau "cara menangani" masalah tertentu. Apa reaksi orang itu? Apa reaksi anda?

Anda adalah petualang bila menghadapi situasi seperti itu dan anda menjawab, "bagus, biar kucoba cara itu!" Tapi, tak jarang kita hanya mendengar jawaban basa-basi, mengiyakan cara itu, tetapi dalam hati mencibir si pengusul, karena si penerima altertif itu merasa sudah tahu segala hal dalam bidangnya dan menganggap alternatif itu nonsense. Ada yang bahkan dengan arogan menganggapnya sebagai sebuah kemustahilan, dan menyunggingkan senyum nyinyir karena dirinya yang "sudah banyak makan asam-garam di bidangnya" merasa direndahkan.

Atau, lihat kembali pengalaman pribadi ketika kita merambah "daerah" atau "bidang" baru serta menemukan jalur dan/atau cara yang kebetulan terasa efisien dan efektif untuk mencapai tujuan kita. Pertanyaannya, berapa lama kita terus mengikuti cara/jalur itu, dan enggan mencari cara/jalur lain karena merasa sudah nyaman dengan temuan pertama?

Tak banyak yang sungguh-sungguh berjiwa pencari. Karena itu, tak heran bila banyak di antara kita yang puas dengan apa yang selama ini dianggap sebagai jalur/cara yang baik - dan mungkin menganggapnya terbaik, hanya karena cara/jalur itu yang sudah dijalani dan memang memberi hasil juga.

Dan betapa luasnya "kebiasaan" itu. Dia tidak hanya berkenaan dengan cara kita mempolakan hidup kita dalam hitungan waktu -- jam segini melakukan ini, jam segitu berbuat itu -- tetapi juga pola reaksi, pola pikir dan pola pandang kita terhadap segala yang membentang dalam hidup kita. Dia menyetrukturir kehidupan fisik, mental, emosional, bahkan kehidupan spiritual kita, yang kadang-kadang terpecah dalam fragmen-fragmen yang sepertinya tidak saling berhubungan, sampai ada gejala aneh di mana kita begitu santun dan religius dalam suatu ruang peribadatan, tapi langsung jadi brutal begitu keluar darinya.

Dengan kebiasaan kita menciptakan pola berulang; dan itu mengenai seluruh aspek kehidupan kita. Oleh karena itu, kita sadar sekarang, bahwa ada tragika dalam rutinitas dan kebiasaan. Setiap kali mengikuti kebiasaan, kita sekaligus memperkuatnya. Dengan kebiasaan itu segala hal yang terkait dengannya menjadi lebih mulus, tidak begitu melelahkan, karena kita merasa tidak perlu lagi mempertanyakannya. Dengan kata lain, beban psikis, mental, dan mungkin juga beban fisik kita menjadi terasa lebih ringan, karena segala hal yang terkait dengannya sudah taken for granted. Setiap kali kita mengikuti kebiasaan, dan mendapat hasil yang baik darinya, kita semakin yakin bahwa itulah yang terbaik. Dan di situlah tragikanya: dia memudahkan dan memfasilitiasi, tetapi sekaligus menjebak kita dalam perangkapnya, sehingga kita serta merta mengganggap sesuatu yang di luar kebiasaan itu sebagai suatu kemustahilan. Kita sering gembar-gembor sebagai makhluk bebas, tetapi kita sendiri menciptakan perangkap-perangkap kebiasaan dan rutinitas sehingga dalam kungkungannya kita menjadi budak, dan hidup kita mudah diprediksikan.

Karena itu, bagi orang yang ingin memiliki kembali kebebasannya, sungguh melegakan membaca karya J. Krishnamurti. Salah satu bukunya yang spektakuler menangani masalah ini adalah Freedom from the Known, bebas dari segala sesuatu yang sudah kita ketahui, sehingga kita berani menggapai apa saja yang bahkan berdasarkan paradigma yang sudah kita ketahui itu kita anggap sebagai kemustahilan.

The known itu dalam diri kita menciptakan pola harapan tertentu, sekaligus memberi garis batas yang jelas terhadapnya, dan di luar garis batas itu membentang luas apa saja yang kita anggap mustahil. Karena itu, freedom from the known juga berarti kebebasan dari segala pola harapan yang selama ini mengungkung kita dalam kubangannya, dan yang menyebabkan kita memandang apa saja yang di luar kubangan kita itu sebagai kemustahilan. Pendek kata, freedom from the known berarti bebas dari belenggu harapan yang sempit yang selama ini memerangkap kita, sehingga tercipta pola harapan baru yang jauh lebih luas, di mana segala kemustahilan berubah menjadi kemungkinan.

Bagaimana caranya? Kata kunci Krishnamurti adalah "memperhatikan apa adanya". Sewaktu berhadapan dengan benda, orang, atau kejadian, perhatikan dia "apa danya". Lepaskan konsep-konsep, jangan berusaha menilai, jangan memberi cap, jangan memberi nama. Pendek kata, dari pihak kita cukup membuka diri untuk menerima penyingkapan (untuk tidak menyebut "pewahyuan") dari "apa adanya" itu. Tetapi, karena setiap kali mempersepsi sesuatu kita selalu menggunakan perspektif dan memberi cap, dalam prakteknya "memperhatikan apa adanya" itu berarti bahwa kita harus kritis terhadap perpektif dan cap-cap kita, dan bahkan mengambil jarak darinya, sampai kita sadar mengenai cara kerja pikiran kita, sehingga kita mampu mengatasi pikiran kita itu. Kalau anda mencapai kemampuan itu, anda jadi mistikus.

Pada kesempatan lain, Krishnamurti menyarankan kita agar berani mengajukan pertanyaan yang mustahil - impossible questions - karena apa-apa yang impossible itu sesungguhnya possible, tetapi karena kita terperangkap pada the known, yang possible itu menjadi impossible bagi kita. Lebih lanjut dia akan mengajak kita memusatkan perhatian pada The Impossible Question, tetapi tak perlu di sini kita bicarakan hal ini. Kalau tertarik, anda bisa membacanya sendiri, sebab tema itu menjadi salah satu judul bukunya yang sulit dibaca, tetapi akan untung besar anda kalau mau menginvestasikan waktu untuk itu.

Betapa dahsyatnya sikap mental yang akan berkembang bila anda mengikuti saran-sarannya. Kata "tidak bisa" mungkin akan terhapus dari kamus hidup anda, atau sekurang-kurangnya akan semakin jarang muncul. Robert T. Kiyosaki, penulis buku beseller Rich Dad Poor Dad, menyebut sikap yang melandasi kata "tidak bisa" itu sebagai "kemalasan mental". Orang yang menjawab pertanyaan, atau proposal, atau alternatif, dengan jawaban "tidak bisa" adalah orang yang malas berpikir. Orang semacam ini adalah orang yang menutup sendiri jalur-jalur suksesnya karena terperangkap oleh kebiasaan-kebiasaannya.

Sebagai alternatifnya, Kiyosaki menyarankan untuk mengganti sikap mental itu dengan membiasakan bertanya "bagaimana caranya agar saya bisa…" atau "apa yang harus kulakukan agar bisa…". Dengan cara itu, secara tak sadar kita seakan menyiapkan lahan subur untuk berkembangnya insight yang memberi anda terobosan untuk mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan.


Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Dan itu dimulai dari dalam diri, dengan membebaskan diri dari segala hal yang kita ketahui, untuk memungkinkan munculnya insight baru yang membuat segalanya menjadi mungkin.

wandi s brata: Freedom from the Known