Home »
fortiter in re, suaviter in modo

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas bagi setiap orang. Anehnya, kita menutup jalur-jalur sukses kita sendiri, karena terlalu cepat merasa puas dan mengira hebat ketika kita sudah memegang inti perkara, mengerti kebenaran, kemudian berupaya memperjuangkan dan menegakkannya, tanpa berpikir sungguh-sungguh mengenai caranya.

Banyak konflik terjadi, dan banyak maksud baik kandas, karena masing-masing yang terlibat terlalu kaku berpegang pada inti perkara dan cara yang sudah dikenal untuk memperjuangkannya, tanpa fleksibilitas dan tanpa upaya keras untuk mencari cara terbaik penyampaiannya, padahal untuk setiap satu inti perkara, ada seribu satu macam cara untuk mencapainya; padahal untuk setiap satu kebenaran, ada seribu satu cara untuk mengungkapkannya.

Konon, ada seorang raja yang buta mata kirinya, dan pincang kaki kirinya. Pada suatu hari, dipanggilnya seorang pelukis untuk melukis dirinya. Sadar bahwa nasibnya amat tergantung pada suka-tidaknya Sang Raja pada lukisannya, seniman itu berusaha menutupi cacat pada obyek lukisannya. Dilukiskannya penguasa itu dalam kebesarannya sebagai penakluk yang gagah perkasa. Matanya indah, menatap dengan tajam. Otot-ototnya kekar; kedua kaki kukuh menapak; semuanya mengesankan aura keperkasaan dan keagungan.

"Apaan ini?!" hardik Sang Raja. "Kamu tak lebih dari seniman carmuk (cari muka)! Emangnya aku seperti ini?!"

Gemetaran, pelukis itu digelandang dan dijebloskan ke dalam penjara.

Mendengar berita itu, pelukis kedua tahu bahwa Sang Raja ingin gambar senyatanya. Sambil memuji Sang Raja yang bersikap objektif dan cinta kebenaran, ia mengambil langkah lain: dilukisnya penguasa itu sebagai pribadi agung… dengan sebelah mata dan kaki cacat.

"Huhh! Seni apaan ini!!" kata Sang Raja. Atas perintah penguasa itu, pelukis kedua ini pun digelandang memasuki bui.

Pelukis ketiga menggambarkan Sang Raja sedang berburu. Kaki kiri ditekuk di depan sebagai penyeimbang; kaki kanan ditekuk sebagai tumpuan; berat badan diletakkan di lutut kaki kanan; tangan kiri memegang busur; tangan kanan menarik anak panah; mata kiri terpejam, mata kanan membidik rusa di kejauhan.

Sang Raja tersenyum puas sekali dengan lukisan tersebut; dan pelukisnya tidak hanya menerima banyak hadiah, tetapi juga dinobatkan sebagai pulukis terbaik di seluruh kerajaan.

Tidak cukuplah mengerti essensi. Untuk menang dalam hidup ini, kita butuh asesori, untuk mengemas essensi. Tidak perlu menjadi penjilat dan penipu, tetapi kebenaran yang kita miliki perlu disampaikan dengan cara yang cerdik agar kebenaran itu bisa sampai sesuai dengan maksud kita. Kecerdikan kita bukan hanya diukur dengan kemampuan kita untuk menemukan hakikat, tetapi juga pada kemampuan kita untuk mengemasnya.

Berpegang pada prinsip merupakan sesuatu yang penting untuk menegakkan integritas, tetapi prinsip tidak perlu menjadikan kita orang yang kaku, karena kekakuannya sering kali justru hanya menyangkut masalah cara pengungkapannya.

Seorang siswa baru saja dinyatakan lulus dalam ujian akhir di Beijing, dan dia akan segera menduduki jabatan penting di kota provinsi. Sebagai tanda terimakasih, dan layaknya sopan santun yang berlaku waktu itu, ia ingin pamitan kepada gurunya, pendidik tersohor di seluruh negeri, sekaligus seorang mentri yang amat diandalkan oleh Sang Raja.

Sebagaimana cerita di atas, yang ini pun saya ambil dari Michael C. Tang, Tales of China's Timeless Wisdom, dengan modifikasi seperlunya.

"Tidak akan mudah bekerja di kantor provinsi. Kamu harus rajin, teliti, rendah hati dan bijaksana." pesan Sang Guru.

"Benar, Guru. Terimakasih atas nasihat Guru. Juga atas bimbingan yang saya terima selama ini." kata sang siswa. "Untuk itu saya mohon restu, dan selebihnya Guru tidak usah khawatir, karena saya telah merancang seratus cara dan rumusan kata-kata indah di benak saya. Setiap kali menghadapi seorang petinggi, saya akan menggunakan satu di antaranya. Saya yakin, dia pasti berkenan."

"Apa katamu?" sergah Guru itu dengan perasaan kecewa. "Kita ini orang terhormat. Kita punya prinsip yang harus ditegakkan, dan bagi orang terhormat adalah pantangan menjadi penjilat. Katakan kebenaran sebagai kebenaran, juga kalau itu pahit. Jangan kekuatanmu kamu letakkan pada kemampuan omong manis yang sebenarnya menipu."

"Bukan menjilat dan menipu, Guru, tetapi rumusan kata-kata yang tepat." kata Sang Siswa. "Lagi pula, di dunia ini hanya ada beberapa gelintir orang yang seperti Guru, yang bisa menerima kebenaran pahit seperti apa pun dengan jiwa besar. Kebanyakan lebih suka mendengarkan eufemisme, kata-kata manis berbunga yang menyembunyikan pahit getirnya realita; kebanyakan lebih suka dipuji dan dirayu, walaupun akhirnya hanya menerima kebenaran yang sudah melenceng dan mungkin malah tak lebih dari kelicikan penuh tipu."

"Mmm, mungkin kamu benar." kata Sang Guru sambil senyum mengangguk-angguk.

Belakangan Sang Siwa bercerita kepada temannya mengenai seratus cara dan rumusan kata-kata indah itu, "Aku telah menggunakan satu untuk Guruku. Kini stokku tinggal sembilan puluh sembilan."

Apa yang lebih membuat bangga: memiliki kebenaran - atau memiliki kebenaran yang juga diterima, "dibeli", dipeluk semua orang, sehingga kebenaran itu menjadi pelita bagi kita semua?

Banyak orang yang sudah merasa puas dipersepsi sebagai orang cerdik karena telah menemukan kebenaran, tetapi bodoh dalam hal cara menjualnya sehingga kebenaran itu tidak menjadi dasar pembelajaran bersama.

Mana lebih penting: puas dan lega karena kritik telah kita sampaikan - atau puas dan lega karena perkara yang menjadi inti kritik itu benar-benar sampai dan kemudian terjadi perubahan?

Banyak orang telah merasa puas menemukan titik lemah yang harus dikoreksi, dan dengan mengungkapkannya secara tak langsung mendongkrak harga dirinya, tetapi bodoh dalam cara penyampaiannya. Akibatnya, kritik hanya merupakan sarana katarsis bagi dia sendiri, dan tak ada perubahan apa pun bagi kebersamaan. Lingkungan sekitarnyanya tak bisa menerimanya, hanya karena sang pengritik tidak memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan kritik yang mungkin sebenarnya tepat dan amat bermanfaat.

Mana lebih penting: puas dan lega karena dendam telah terbalaskan - atau biasa-biasa saja, tetapi dalam proses itu kita menjadi lebih memiliki kontrol diri dan mampu memutus proses pembiakan kedengkian, sehingga dunia ini lebih layak huni?

Banyak orang bila mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan bereaksi sedemikian rupa seperti sedang menumpuk emosi negatif, sampai ketegangannya memuncak. Bila secara spontan cepat membalasnya, rasanya seperti mendapat orgasme - suatu kelegaan luar biasa karena ketegangan yang memuncak itu dilepaskan secara tiba-tiba. Tetapi dengan itu, pembalasan dendam itu terus membiakkan spiral dendam yang semakin besar dan luas.

Mana lebih penting: puas dipersepsi sebagai orang yang berwibawa dengan menetapkan standar, peraturan, prinsip, tetapi sebenarnya hanya dihormati di muka dan dikencingi di punggung - atau standar, aturan dan prinsip itu tegak, dengan sebuah trade off bahwa barangkali kita dipersepsi sebagai orang yang biasa-biasa saja?

Sebenarnya tak terlalu dibutuhkan kecerdikan untuk mengambil sederet pilihan-pilihan pertama itu. Kecerdikan dan kebesaran orang terletak pada pilihan yang kedua. Pada pilihan kedua itulah para pemenang dalam hidup ini memfokuskan tatapan mereka. Karena itu, mereka akan menghidupi sebuah kebijaksanaan yang oleh orang-orang Romawi kuno dirumuskan dengan ringkas: fortiter in re, suaviter in modo, teguh kuat dalam kebenaran dan perkaranya, tetapi lembut-luwes-persuasif dalam caranya.

Tidak hanya itu, para pemenang tahu bahwa efektivitas mereka akan terdongkrak luar biasa, kalau dalam suaviter in modo itu mereka menambahkan unsur pengorbanan diri. Kuncinya sederhana: daya persuasi kita sungguh andal, kalau kita sendiri adalah orang yang memiliki integritas pribadi mengenai apa pun yang akan kita tawarkan, kita perjuangkan, dan itu lebih impresif lagi ketika kita memberi seporsi bukti pengorbanan diri.

Tidak usah kita mengambil cerita dari khasanah dongeng Cina, karena untuk ini ada peristiwa nyata yang saya dengar dari seorang kolega. Dalam perjalanan ke kantor, seorang Bapak mengajak anaknya semobil, dengan harapan anaknya akan membawa mobil itu ke bengkel untuk direparasi, sebelum si anak pergi kuliah.

"Sepulang kuliah, kamu ambil saja mobil itu, lalu kamu jemput aku sekitar jam empat tiga puluh" kata sang ayah.

Sepulang kuliah, anak itu mengambil mobil… dan memakainya untuk entah ke mana. Karena jam empat tiga puluh telah lewat, sang ayah nelpon bengkel, dan diberitahu bahwa mobilnya telah lama sekali diambil oleh anaknya.

"Kok telat?" tanya ayahnya, ketika anaknya datang menjemput.

"Habis gimana, saya harus menunggu di bengkel dan baru jadi tadi jam empat seprapat."

"Hmm… aku telah gagal mendidik anak sendiri. Mungkin karena kurang memberi contoh yang baik kepadamu, maka kamu tidak bisa belajar jujur dariku. Karena itu, aku tidak akan menghukummu. Akulah yang harus mendapat hukumannya."

Maka sang ayah menghukum diri sendiri. Lima kilometer jarak dari kantor ke rumahnya ia tempuh dengan jalan kaki. Anaknya dia minta menguntit di belakangnya dengan mobilnya.

Sepanjang jalan, berkali-kali anak itu mohon maaf dan minta ayahnya naik ke mobil, tetapi sang ayah mau mengambil risiko capek untuk menanamkan satu nilai kepada anaknya. Dan dijamin: anak itu tak akan pernah melupakan pembelajaran pada hari itu.

Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas bagi setiap dan semua orang. Dan itu amat dipermudah, kalau kita tidak hanya mau bersusah payah mengerti inti perkara, tetapi juga cara cerdik untuk mengedepankannya. Pada cara itulah tergantung efektivitas persuasi kita, dan para pemenang dalam hidup ini tahu bahwa mereka dapat mendongkrak efektivitas persuasi mereka bila menambahkan di dalamnya seporsi pengorbanan diri.

wandi s brata: fortiter in re, suaviter in modo

Datangnya Sekolah Model Barat

Oleh: YB Mangunwijaya

Selaku blessing in disguise, salah satu buah kolonialisme di negeri kita yang positif ialah rontoknya pendidikan cara feodal itu bagian per bagian oleh hegemoni sistem Barat yang datang di negeri-negeri jajahan.
Pendidikan Barat yang datang itu telah mengalami metamorfosis dari manusia kolektivitas feodal hierarkis ke manusia Renaissance (kelahiran kembali alam filsafati Yunani Antik yang sudah berhasil melepaskan diri dari budaya mitologi dewa-dewi) dan Fajarbudi (Aufklaerung dari yang disebut Kegelapan Abad-abad Pertengahan yang feodal) yang menempatkan manusia tidak lagi hanya sebagai objek kekuasaan para bangsawan.
Tujuan hidup fana tidak lagi hanya selaku persiapan melulu ke dunia akhirat, tetapi dihargai sebagai tujuan intrinsik dan sejati pada dirinya (in sich, in ipso), tanpa harus mengingkari nilai hidup akhirat.
Metamorfosis filsafat manusia dengan konsep dan citra manusia yang manusiawi serta diharapkan semakin manusiawi lagi (humanior) berasal dari pandangan manusia sebagai citra Tuhan (Jadi ko-kreator) dalam bangsa Hibrani, sementara benihnya telah ditanam di Indonesia oleh agama Islam yang berakar sama dengan kaum Nasrani pada iman Nabi Ibrahim, yang nantinya diekspresikan dalam Pancasila (khususnya sila ke-2) yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno, seorang pribadi tokoh yang dalam porsi amat besar adalah pendidikan Barat humanis juga.

* Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan, "meninggal dalam tugas" di seminar "Meningkat Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," 10 Februari 1999. Nukilan dari "Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat" hal. 98-99. Penerbit Kanisius 1999.

Source : [ kolom NUKILAN ] pembelajar.com