Home »
Mempersepsi Realita Secara Baru

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Anehnya, itu tidak berurusan dengan menang persaingan terhadap sesama kita. Menang dalam hidup terutama berurusan dengan menang terhadap kelemahan dan kepicikan diri sendiri. Dan itu akan mudah kita capai kalau antara lain kita tahu hukum persepsi.

Mungkin banyak yang mengira bahwa kita ini bereaksi terhadap fakta-fakta, terhadap realita apa adanya. Kita marah atau kalem, gembira atau jengkel, antusias atau pesimis, muak atau bergairah, bila kita - kata orang - menghadapi fakta atau realita tertentu. Marilah kita menarik diri dan mempertanyakan hal itu: benarkah demikian?

Suatu hari saya mengundang makan seorang teman. Hari itu menu keluarga kami agak beda: tidak hanya ada tahu, tempe, krupuk dan sayur sebagaimana kebiasaan, hari itu ada banyak daging yang memang "luar biasa". Saya senang bisa mengajak teman makan; dan rupanya dia pun gembira. Saya kira dia tulus ketika mengucapkan terimakasih dan senang kalau kapan-kapan diundang lagi makan siang. Saya bertanya, "Kamu senang, Ton., dengan daging itu?"

"Ya, ya! Enak sekali!"

"Kamu tahu, daging apa itu?"

Mungkin karena menangkap sesuatu yang agak aneh dengan pertanyaan itu, dia balik bertanya, "Emangnya daging apa?"

"Anjing!"

"Hah?!"

Jawaban itu seperti sambaran petir. Raut teman saya langung berubah. Hanya dalam hitungan detik mukanya jadi merah. Mungkin agak menahan diri untuk muntah di hadapan keluarga saya, tetapi dia jelas menahan sesuatu yang tidak mengenakkan. Saya tahu, dia tidak mau makan daging anjing kalau tahu sebelumnya. Bukan karena haram, tetapi karena jijik.

Jadi, apakah kita bereaksi terhadap fakta apa adanya? Tidak! Beberapa menit sebelumnya Anton, teman saya itu, lahap menikmati daging yang dia rasakan enak. Tubuhnya merespon dengan wajar, tetapi beberapa menit sesudahnya segalanya jadi lain. Tubuhnya bereaksi menolak, perutnya begolak, wajah memerah. Secara mental-emosional pun dia berubah. Suasana yang tadinya serba menyenangkan berubah menjadi agak janggal, serba kikuk. Undangan makan yang kiranya dia sambut sebagai kebaikan hati saya mungkin kini diartikan lain sebagai kesempatan untuk "ngerjain" dia -mungkin terimakasih pun berubah jadi umpatan dalam hati (karena tak enak untuk menyatakannya secara terang-terangan).

Apa yang menentukan perubahan dahsyat itu? Jawabannya: PERSEPSI.

Persepsi adalah pemaknaan kita terhadap fakta apa adanya. Persepsi adalah sapuan warna individual yang kita kenakan kepada fakta apa adanya. Persepsi adalah pemahaman kita terhadap fakta - tetapi, fakta itu sudah bukan lagi fakta apa adanya, melainkan fakta yang sudah kita warnai, kita pulas, kita beri nilai, kita beri cap, kita namai, kita beri perspektif, kita beri muatan nilai spiritual, sosial, emosional - apa pun! Pendek kata, persepsi adalah pemahaman kita terhadap fakta yang kita pandang dengan sebuah kacamata berwarna, dari sudut pandang tertentu. Dan terhadap persepsi itulah sebenarnya kita bereaksi - apa pun reaksi itu.

Secara psiko-motorik, mental-emosional, persepsi bahkan kadang-kadang begitu kuatnya menentukan reaksi-reaksi kita, padahal mungkin saja tidak ada fakta yang sebenarnya mendasari persepsi itu. Contohnya bisa anda alami ketika sedang berhenti di lampu merah. Di tengah berderet-deret mobil yang menunggu lampu hijau menyala, anda menghentikan mobil anda. Dengan santai anda menoleh ke kanan atau ke kiri, dan tiba-tiba anda jadi "gragapan" karena mengira mobil anda mundur dengan cepat. Jantung berdebar karena takut mobil anda peyok atau memeyokkan mobil di belakang anda. Kaki anda cepat bergerak untuk menginjak rem. Beberapa detik kemudian anda baru sadar bahwa bukan mobil anda yang mundur cepat, tetapi ada satu mobil di sebelah anda maju dengan cepat untuk segera merebut ruang kosong di depannya!

Itulah fenomena gerak semu, dan secara emosional maupun fisik kadang-kadang kita dipermainkankan oleh persepsi terhadap fenomena semacam gerak semu itu. Realita gerak anda semu, tetapi efek emosional dan psiko-motorisnya amat nyata.

Para ahli pemasaran amat menyadari kekuatan persepsi ini. Bagi mereka, persaingan di pasar adalah perang persepsi. Karena itu mereka menyarankan agar para produser mengaitkan produk mereka dengan persepsi yang khas: Volvo dengan "safety", sabun mandi dengan "bebas bakteri 24 jam" atau dengan "kecantikan", susu dengan "tulang kuat", atau susu beromega-3 dengan "kecerdasan".

Karena persepsi itu bisa dimunculkan tanpa fakta pendukungnya, saya punya catatan serius untuk para ahli pemasaran yang begitu mengandalkan hukum persepsi itu. Tetapi, lain kali kita bicara mengenai hal ini. Untuk saat ini, cukuplah kita menyadari betapa kuatnya persepsi itu menentukan hidup kita. Kita bisa "dikerjain" orang dengan itu, kita juga bisa "ngerjain" masyarakat dengan pemahaman yang baik mengenai hal itu, atau kita juga bisa menjadi bijaksana dan dapat menentukan kebahagiaan kita sendiri berbekal kesadaran akan hal itu.

Itu bisa kita lakukan di mana pun, dan di saat apa pun, karena kalau kita menyadari bahwa kita ini ditentukan oleh persepsi kita, kita juga bisa menarik diri untuk tidak serta merta mengambil tindakan hanya berdasar persepsi yang muncul secara spontan, sehingga tindakan kita tidak akan reaktif.

Anda sedang meluncur di jalanan yang padat lalu lintas. Anda waspada dan hati-hati agar tidak menimbulkan masalah bagi diri sendiri atau sesama seperjalanan anda. Tiba-tiba ada mobil lain yang secara sembrono menyerobot dan ngebut mendahului anda. Apa reaksi anda?

Saya tidak heran kalau anda jengkel. Mungkin malah marah dan ingin mengejar. Banyak di antara kita yang langsung kehilangan kontrol diri dan marah-marah terhadap orang yang ugal-ugalan tersebut. Tetapi, ada satu orang yang saya tahu tetap tenang menghadapi kejadian seperti itu, karena dia mempersepsi sopir yang ngebut tadi sebagai "orang yang kebelet ngising". Anda tahu yang dia maksudkan: kalau perut anda sudah mules, dubur anda siap menyemburkan ampas busuk, dan anda tak sabar untuk segera duduk di kloset - itulah "kebelet ngising". Dan memang, kalau jalan anda disrobot oleh orang yang sedang menghadapi "problem berat" seperti itu, anda akan maklum, tetap tenang, dan kalau tahu mungkin malah akan mempersilahkan dia mendahului anda.

Ada yang keberatan dengan mengatakan, "Tetapi, bukankah orang itu belum tentu kebelet ngising?" Memang! Mungkin saja dia adalah orang yang amat beradab tetapi sedang diburu oleh persoalan berat; atau sebaliknya orang biadab yang tak peduli terhadap keselamatan orang lain. Tetapi itu bukan urusan kita. Urusan kita adalah menciptakan mekanisme internal dalam diri kita yang menyebabkan kita ini tetap tenang, tidak kehilangan kontrol diri, bahkan dapat menentukan kebahagiaan kita sendiri. Dan kini kita tahu salah satu caranya adalah: MEMPERSEPSI perkara-perkara yang biasanya menyebabkan kita kehilangan kontrol diri dan keseimbangan itu SECARA BARU.

Betapa luar biasanya cara itu. Dengan mekanisme sederhana itu dengan mudah kita bisa mengontrol emosi-emosi kita untuk tetap seimbang. Dampak lanjutannya ialah bahwa sistem hormonal dalam tubuh kita juga berjalan wajar, sehingga kita tidak hanya sehat secara mental-emosional, tetapi juga secara fisik.

Banyak orang hidup dipermainkan oleh persepsinya, tetapi dengan pengetahuan ini anda bisa mengambil jarak, bermain secara baru dengan persepsi anda, dan dapat mewarnai hidup anda sesuai dengan yang anda inginkan.


Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas untuk anda. Dan anda dapat mewujudkannya dengan cara mendekati berbagai perkara dengan persepsi baru. 

wandi s brata: Mempersepsi Realita Secara Baru

Freedom from the Known

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Anehnya, kita menutup jalur-jalur sukses kita sendiri, dengan biasa terburu-buru mengatakan "tidak" terhadap jalur-jalur alternatif yang belum pernah kita rambah. Anehnya, kita mudah takluk dan terjebak oleh kebiasaan kita, dan hanya sedikit di antara kita yang sungguh-sungguh bermental petualang dalam setiap situasi kehidupan yang terbentang.

Bayangkan orang yang sudah bekerja pada bidang apa pun selama lima, sepuluh, lima belas tahun, atau lebih lama lagi, dan tiba-tiba datang orang yang "masih hijau" di bidang itu yang mengajukan alternatif "cara bertindak" atau "cara menangani" masalah tertentu. Apa reaksi orang itu? Apa reaksi anda?

Anda adalah petualang bila menghadapi situasi seperti itu dan anda menjawab, "bagus, biar kucoba cara itu!" Tapi, tak jarang kita hanya mendengar jawaban basa-basi, mengiyakan cara itu, tetapi dalam hati mencibir si pengusul, karena si penerima altertif itu merasa sudah tahu segala hal dalam bidangnya dan menganggap alternatif itu nonsense. Ada yang bahkan dengan arogan menganggapnya sebagai sebuah kemustahilan, dan menyunggingkan senyum nyinyir karena dirinya yang "sudah banyak makan asam-garam di bidangnya" merasa direndahkan.

Atau, lihat kembali pengalaman pribadi ketika kita merambah "daerah" atau "bidang" baru serta menemukan jalur dan/atau cara yang kebetulan terasa efisien dan efektif untuk mencapai tujuan kita. Pertanyaannya, berapa lama kita terus mengikuti cara/jalur itu, dan enggan mencari cara/jalur lain karena merasa sudah nyaman dengan temuan pertama?

Tak banyak yang sungguh-sungguh berjiwa pencari. Karena itu, tak heran bila banyak di antara kita yang puas dengan apa yang selama ini dianggap sebagai jalur/cara yang baik - dan mungkin menganggapnya terbaik, hanya karena cara/jalur itu yang sudah dijalani dan memang memberi hasil juga.

Dan betapa luasnya "kebiasaan" itu. Dia tidak hanya berkenaan dengan cara kita mempolakan hidup kita dalam hitungan waktu -- jam segini melakukan ini, jam segitu berbuat itu -- tetapi juga pola reaksi, pola pikir dan pola pandang kita terhadap segala yang membentang dalam hidup kita. Dia menyetrukturir kehidupan fisik, mental, emosional, bahkan kehidupan spiritual kita, yang kadang-kadang terpecah dalam fragmen-fragmen yang sepertinya tidak saling berhubungan, sampai ada gejala aneh di mana kita begitu santun dan religius dalam suatu ruang peribadatan, tapi langsung jadi brutal begitu keluar darinya.

Dengan kebiasaan kita menciptakan pola berulang; dan itu mengenai seluruh aspek kehidupan kita. Oleh karena itu, kita sadar sekarang, bahwa ada tragika dalam rutinitas dan kebiasaan. Setiap kali mengikuti kebiasaan, kita sekaligus memperkuatnya. Dengan kebiasaan itu segala hal yang terkait dengannya menjadi lebih mulus, tidak begitu melelahkan, karena kita merasa tidak perlu lagi mempertanyakannya. Dengan kata lain, beban psikis, mental, dan mungkin juga beban fisik kita menjadi terasa lebih ringan, karena segala hal yang terkait dengannya sudah taken for granted. Setiap kali kita mengikuti kebiasaan, dan mendapat hasil yang baik darinya, kita semakin yakin bahwa itulah yang terbaik. Dan di situlah tragikanya: dia memudahkan dan memfasilitiasi, tetapi sekaligus menjebak kita dalam perangkapnya, sehingga kita serta merta mengganggap sesuatu yang di luar kebiasaan itu sebagai suatu kemustahilan. Kita sering gembar-gembor sebagai makhluk bebas, tetapi kita sendiri menciptakan perangkap-perangkap kebiasaan dan rutinitas sehingga dalam kungkungannya kita menjadi budak, dan hidup kita mudah diprediksikan.

Karena itu, bagi orang yang ingin memiliki kembali kebebasannya, sungguh melegakan membaca karya J. Krishnamurti. Salah satu bukunya yang spektakuler menangani masalah ini adalah Freedom from the Known, bebas dari segala sesuatu yang sudah kita ketahui, sehingga kita berani menggapai apa saja yang bahkan berdasarkan paradigma yang sudah kita ketahui itu kita anggap sebagai kemustahilan.

The known itu dalam diri kita menciptakan pola harapan tertentu, sekaligus memberi garis batas yang jelas terhadapnya, dan di luar garis batas itu membentang luas apa saja yang kita anggap mustahil. Karena itu, freedom from the known juga berarti kebebasan dari segala pola harapan yang selama ini mengungkung kita dalam kubangannya, dan yang menyebabkan kita memandang apa saja yang di luar kubangan kita itu sebagai kemustahilan. Pendek kata, freedom from the known berarti bebas dari belenggu harapan yang sempit yang selama ini memerangkap kita, sehingga tercipta pola harapan baru yang jauh lebih luas, di mana segala kemustahilan berubah menjadi kemungkinan.

Bagaimana caranya? Kata kunci Krishnamurti adalah "memperhatikan apa adanya". Sewaktu berhadapan dengan benda, orang, atau kejadian, perhatikan dia "apa danya". Lepaskan konsep-konsep, jangan berusaha menilai, jangan memberi cap, jangan memberi nama. Pendek kata, dari pihak kita cukup membuka diri untuk menerima penyingkapan (untuk tidak menyebut "pewahyuan") dari "apa adanya" itu. Tetapi, karena setiap kali mempersepsi sesuatu kita selalu menggunakan perspektif dan memberi cap, dalam prakteknya "memperhatikan apa adanya" itu berarti bahwa kita harus kritis terhadap perpektif dan cap-cap kita, dan bahkan mengambil jarak darinya, sampai kita sadar mengenai cara kerja pikiran kita, sehingga kita mampu mengatasi pikiran kita itu. Kalau anda mencapai kemampuan itu, anda jadi mistikus.

Pada kesempatan lain, Krishnamurti menyarankan kita agar berani mengajukan pertanyaan yang mustahil - impossible questions - karena apa-apa yang impossible itu sesungguhnya possible, tetapi karena kita terperangkap pada the known, yang possible itu menjadi impossible bagi kita. Lebih lanjut dia akan mengajak kita memusatkan perhatian pada The Impossible Question, tetapi tak perlu di sini kita bicarakan hal ini. Kalau tertarik, anda bisa membacanya sendiri, sebab tema itu menjadi salah satu judul bukunya yang sulit dibaca, tetapi akan untung besar anda kalau mau menginvestasikan waktu untuk itu.

Betapa dahsyatnya sikap mental yang akan berkembang bila anda mengikuti saran-sarannya. Kata "tidak bisa" mungkin akan terhapus dari kamus hidup anda, atau sekurang-kurangnya akan semakin jarang muncul. Robert T. Kiyosaki, penulis buku beseller Rich Dad Poor Dad, menyebut sikap yang melandasi kata "tidak bisa" itu sebagai "kemalasan mental". Orang yang menjawab pertanyaan, atau proposal, atau alternatif, dengan jawaban "tidak bisa" adalah orang yang malas berpikir. Orang semacam ini adalah orang yang menutup sendiri jalur-jalur suksesnya karena terperangkap oleh kebiasaan-kebiasaannya.

Sebagai alternatifnya, Kiyosaki menyarankan untuk mengganti sikap mental itu dengan membiasakan bertanya "bagaimana caranya agar saya bisa…" atau "apa yang harus kulakukan agar bisa…". Dengan cara itu, secara tak sadar kita seakan menyiapkan lahan subur untuk berkembangnya insight yang memberi anda terobosan untuk mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan.


Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas untuk setiap orang. Dan itu dimulai dari dalam diri, dengan membebaskan diri dari segala hal yang kita ketahui, untuk memungkinkan munculnya insight baru yang membuat segalanya menjadi mungkin.

wandi s brata: Freedom from the Known