Oleh: YB Mangunwijaya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, tertera bahwa kata "sarjana"
berarti "orang pandai (ahli ilmu pengetahuan) atau tingkatan yang dicapai
oleh seorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan
tinggi."
Dan kata "cendekiawan" berarti
"orang cerdik-pandai, intelek, yang memiliki sikap hidup yang terus
menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami
sesuatu." Cendekia berarti "tajam pikirannya, lekas mengerti (kalau
diberi tahu sesuatu); cerdas, pandai, terpelajar, cepat mengerti situasi, dan
pandai mencari jalan keluar, dan seterusnya."
Jadi, menurut Kamus Besar itu, istilah
"sarjana" lebih menunjuk kepada orang yang punya kualifikasi resmi
dan status formal berkat suatu ijazah perguruan tinggi yang diraihnya.
Sedangkan sebutan "cendekiawan" lebih menunjuk kepada sikap dasarnya
selaku seorang thalib (sang pencari), kaum intelektual yang peduli terhadap
masalah-masalah manusiawi yang memerlukan jalan keluar, jadi selain pandai,
bersikap sosial serta politis juga. Dalam hal ini politis dalam arti aslinya:
demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat umum.
Namun tentu saja diharapkan bahwa seorang
sarjana yang pandai berijazah formal, dan sebagainya itu sekaligus adalah
seorang intelektual alias cendekia juga yang selalu mencari terus-menerus,
eksploratif tanpa henti, meningkatkan kemampuan pikirnya tanpa jera; dengan
sikap hidup yang kritis, tidak mudah percaya begitu saja pada data dan informasi
serba gemerlapan dari para penguasa atau kaum yang cerdik mengiklankan
"kecapnya"--jadi, orang yang tidak mudah ditipu apalagi
"dibeli" dan oleh karena itu tekun teliti menggali dalam dan
menyaring di bawah permukaan: apa dan mana yang mencari kebenaran. Tidak
mencari yang enak yang menguntungkan yang memuji diri, tetapi yang baik, yang
perlu demi kepentingan orang banyak, khususnya yang lemah miskin dina dan
tersudut.
Demikian seorang cendekiawan tidak gentar
terhadap segala bentuk ancaman kekuasaan, kendati iaaif berhati-hati dan
waspada. Seorang cendekiawan memang sekaligus dari kodratnya seorang yang
bermoral dan sempit tetapi multidimesional, tidak lekas puas gampang-gampangan
dan karenanya bersikap serba eksploratif.
Sang thalib tadi pencari. Demi yang benar,
yang baik, yang indah, satu-satunya dewa pujaannya. Tetapi ia tahu bahwa segala
yang rasional mengandung kadar kebenaran yang tinggi, dan sekaligus baik dan
indah. Seperti semesta ciptaan Tuhan yang Mahabesar yang berfungsi menurut hukum-hukum
rasional yang sempurna dan benar, dan karena itu kita lihat sungguh baik dan
indah.
* Penulis adalah pemerhati masalah
pendidikan, "meninggal dalam tugas" di seminar "Meningkat Peran
Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," 10 Februari 1999.
Nukilan dari "Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan" hal. 133-135.
Penerbit Kanisius 1999.
Source
: [ kolom Nukilan ] pembelajar.com